“Siapa itu korban di bumi
hari ini?”
Tanya Awan
Pada Angin
“Seorang anak muda
Dia amat berani,”
Jawab Angin
“Berhembuslah kau, dan berhentikan saya
Tepat di atas kota ini”
Awan dan Angin
Berhentilah siang hari
Di atas negeri ini
“Wahai, teramat panjangnya
Arakan jenazah
Di bawah!
Raja manakah kiranya
Yang wafat itu?”
“Bukan raja,”
Jawab Angin
“Pangeran agaknya?”
“Pangeran bukan
Dia hanya kawula biasa
Seorang anak muda.”
“Tapi mengapa begitu banyak
Orang berjajar di tepi jalan
Ibu-ibu membagikan minuman
Di depan rumah-rumah mereka
Orang-orang melontar buah-buahan
Dalam arak-arakan
Dan saya lihat pula
Mereka bertangisan
Di kuburan
Siapa dia sebenarnya
Wahai Sang Angin?”
“Dialah anak muda
Yang perkasa
Di antara kawan-kawannya
Yang terluka
Dia telah mendahului
Menghadap Ilahi
Seluruh negeri ini
Mengibarkan bendera nestapa
Baginya
Menangisi kepergiannya
Dalam duka
Seluruh negeri ini
Yang terlalu lama dizalimi
Telah belajar kembali
Untuk menjadi berani
Dalam berbuat
Untuk menjadi berani
Menghadapi mati.”
Kata Sang Awan pula:
“Sangat menarik sekali
Kisahmu, ya Angin
Tapi sebelum kita pergi
Mengembara ke bagian bumi yang lain
Katakan pada saya
Karena kau tahu banyak
Tentang negeri ini
Katakan pada saya
Untuk apa anak muda ini mati?”
Sang Angin tersenyum dan berkata:
“Untuk dua patah kata, dia
Rela Mati
Dalam usia muda sekali.”
“Apa gerangan itu?”
Tanya Sang Awan
“Menegakkan Kebenaran,”
sahut Sang Angin
“Dan Keadilan.”
Dan mereka berdua
Mulailah ngembara lagi
Sementara senja
Turun ke bumi.
1966
Puisi ini dipetik daripada kumpulan puisi Taufiq Ismail yang berjudul ‘Tirani dan Benteng’, Cetakan keduabelas terbitan Majalah Sastra Horison dan Rumah Puisi, Indonesia.