“Berterima kasihlah pada setiap yang memberi kita kehidupan.” Saya menurut kata-katamu ini dengan cermat.
Hari itu, malam terasa lebih panjang. Perjalanan 9 jam menaiki keretapi dari Jakarta ke Blora seperti menyimpan 1001 misteri. Saya tidak tahu bagaimana perjalanan ini akan menjawab persoalan kehidupan, hanya saat ini ia membentak di kepala saya, terlalu awal untuk saya meletakkan noktah. Memang menjadi asing di tempat sendiri adalah pilihan yang teruk dan kejam. Kekejaman yang lahir dari sikap ketidakpedulian – siapa yang mahu merawat keterasingan sebagai tanggungjawab sosial?
Akhirnya perjalanan melawan keterasingan ini membuat saya terduduk di kubur Pramoedya Ananta Toer. Kubur Pram yang terletak di Karet Bivak, Jakarta, bernombor 63, blok A1-40 itu begitu sunyi. Tertulis kata terakhir Pram di situ, ‘’Pemuda harus melahirkan pemimpin.’’ Saya termenung, berharap keping-keping diri yang hilang dapat ditemu dan dicantum. Ya, Pram cuma punya satu harapan – iaitu, pemuda. Kepercayaan pada anak muda menjadi satu-satunya harapan untuk Pram bertahan hidup. Saya mengulang kembali kata-kata Pram – kalau angkatan muda berani, akan dapat mengubah keadaan. Tanpa keberanian, orang akan jadi fosil dan tidak akan berubah. Biarpun sudah meraih empat gelar di bidang akademik kalau tidak punya keberanian: nol! Memfosil! Dia cuma jadi fosil!
Membaca Pram adalah jalan pemula untuk pemberani melawan kekuasaan juga buat pengecut memberanikan diri. Keberanian tidak akan turun dari langit – menurut percaya Pram. Menjadi berani itu proses yang perlukan latihan. Di dalam Pram Dalam Tungku yang memuatkan wawancara Pram untuk majalah mahasiswa Hayamwuruk, Pram mengatakan demonstrasi – sebagai salah satu latihan menjadi berani. Berani mengubah pedalaman diri sendiri, berani menjadi suara paling keras dan berani memberanikan orang lain. Jadi harus dibiarkan anak muda marah-marah. Kemarahan adalah semangat zaman yang tidak boleh dilawan.
Masih di Karet Bivak. Lama saya termenung, mengamati nama almarhumah Maemunah Thamrin, isteri Pram dari perkahwinan kedua yang disemadikan bersama dalam satu liang lahad. Mungkin Tuhan mahu menunjukkan saya makna – liang lahad adalah rezeki dan kesatuan Cinta.
—
9 jam perjalanan ke Blora, saya dan kak Shikin sepakat untuk menaiki keretapi ekonomi Kertajaya, sengaja tidak mahu begitu selesa. Kami berangkat dari Pasar Senen ke Stesen Cepu, memilih tempat duduk saling berhadapan di gerobok 11, 14E & 15E. Iya, perjalanan yang panjang. Kami tidak banyak tidur, berbual dengan Bapak Arif dan Mas Sofir begitu mengasyikkan. Tapi.. cerita mereka ini saya simpan dulu.
Sampai di stesen Cepu jam 11.20 malam, saya terima satu mesej di WhatsApp dari Mas Ben, kami sudah di depan stasiun Cepu, Mbak. Di depan pintu keluar, pinggir jalan.
Mesej itu mendebarkan. Siapa sangka, yang menjemput saya dan kak Shikin malam itu adalah saudara kandung Pram sendiri. Mas Ben berkeras mahu menjemput, tidak mahu membiarkan kami bermalam di hostel berdekatan. Saya mengangkat-angkatkan kepala, menjenguk orang-orang di pinggir jalan. Bagaimana rupa Mas Ben pun tidak saya tahu, kami tidak pernah bertemu. Hanya pernah membaca satu tulisannya di laman rasmi CNN Indonesia, Tiga Saudara dan Rasa Cinta pada Blora – tulisan itu cukup sebagai pengenalan siapa Mas Ben.
Debar saya makin menjadi-jadi, sosok lelaki tua tertangkap di mata. Itu Bapak Soesilo Toer!
Kami datang menyapa Bapak, menyalami sambil tersenyum-senyum. Kami terkelu sampai lupa memperkenalkan diri, Bapak juga tidak bertanyakan apa-apa. Barangkali sudah letih menempuh perjalanan dari Pataba ke stesen Cepu, 36 km menaiki motor. Ah kami sudah ganggu waktu tidur Bapak. Mas Ben yang berdiri tidak jauh dari Bapak menyapa kami dengan senyuman. Belum sempat saya berkata apa-apa, Mas Ben terlebih dahulu menegur – Mbak bisa bawa motor?
Ah soalan pertama Mas Ben.. lucu. Iya, mengembara adalah kemestian dalam hidup. Dan berpetualang dengan membawa motor tanpa lesen ke rumah masa kecil Pram adalah mimpi manis yang mengejutkan.
Harus nekad, seperti kata Mas Sofir.
Oleh: Nursyuhaidah A. Razak