“Eksistensi humanisme dalam mengungkap sesuatu perbuatan dan atas perbuatanya cermin mulia dan luhur”
Menerokai naskhah ‘Sipakatau Konsep Etika Masyarakat Bugis’ yang usai saya cermati ini begitu segar, membuka satu ‘jendela bening’ dalam budaya orang Bugis yang penuh dengan ‘akar-akar’ dan ‘sendi-sendi’ dalam kanca filsafat orang Bugis. ‘Hutan-hutan’ lebat simbol orang Bugis ini juga penuh dengan belantara dan pepohonan yang penuh dengan keunikan, tentangan dan melankolik.
Sedar ataupun tidak, setiap filsafat hidup orang Bugis ini tidak akan usang, dan kering kerana masih ada denyutan kualiti hingga hari ini. Naskhah ini juga dekat dengan saya dan menjadi pilihan saya kali ini, disebabkan saya juga pengkaji orang Bugis dalam kemajmukan ranah antropologi dan semiotika sebagai sebuah tatanan keilmiahan domain simbolis.
Dalam naskah kecil ‘mongel’ ini, kita akan menemukan ide-ide yang besar dan menawarkan harta karun informasi yang dapat mengubah hidup masyarakat dan karier benak orang Bugis yang lebih baik dalam Sipakatau, yang dituangkan oleh penulis mengenai nuansa hermeneutika. Jika dibidik menggunakan pancaindera mata jernih, di hutan budaya orang Bugis ini juga terdapat pernik-pernik falsafah yang khas khususnya orang Bugis itu sendiri. Percikan-percikan filsafat hidup Bugis akan menyelinap ke dalam beberapa aspek budaya Bugis.
Budaya Bugis memang penuh dengan ‘kuntum-kuntum’ dan ‘bunga-bunga’ semerbak, banyak hal yang ‘semu’, antik, aristik, estetik. Di dalam budaya orang Bugis ini penuh aroma-aroma mantis, mistis, filosofis, teks materi dan dunia wacana.
Naskhah yang begitu nipis ini, hanya berketebalan 117 muka halaman, ternyata ‘tebal’ dalam ‘sayap-sayap’ pemikiran yang tertuang di dalam risalah ini. Pengetahuan saya mengenai Bugis hanya ‘sepotong roti’ (lapis legit), ini menyebakan pengetahuan saya hanya tertangkap kulit-kulit saja. Justeru, hadirnya naskhah ini yang sudah ‘naik daun’ menyebabkan logos saya bertambah sedikit mengenai ‘akar-akar’ orang Bugis itu sendiri.
Cerminan yang saya akan bentangkan pada kali ini, akan membuka cakerawala anda terbuka luas di dalam ‘sendi-sendi’ orang Bugis sekaligus membuatkan anda mampu senyum menyelam dan menjelajah ke dalam ombak budaya orang Bugis. Masakan tidak, jika dikunyah sudah pasti lazat, sosial, ragawi, dan lunak. Dengan kupasan yang ‘ringan’ dalam risalah ini ia tidak akan mengerutkan dahi anda, tetapi ia akan membuat pembaca memancing ingatan, dan fikiran-fikiran yang datangnya tidak sengaja.
Pada catatan pengantar bab pendahuluan, penulis menyajikan kalimat-kalimat yang menceracau ini yakni ‘Apa itu Sipakatau’? yang diawali di dalam risalah ini dan menawarkan aspek-aspek kehidupan masyarakat orang Bugis yang mulanya begitu kental dan kadang juga cair, yang diwarnai dengan hal batiniah dari persoalan dunia akhirat dan dari persoalan ke hal-hal ‘wingit’.
Di dalam ‘inti-inti’ budaya orang Bugis, ia amat mementingkan nilai ‘siri’ yang bersifat holistik yakni agama, bahasa dan sistem-sistem dalam benak orang Bugis itu sendiri. Tipe-tipe yang menjadi ‘jurus’ orang Bugis pada hari ini yakni pemberani (Awaraningeng), yang memegang nilai-nilai murni ide (prinsip-prinsip) kemanusiaan.
Nilai-nilai yang diutamakan dalam masyarakat Bugis ini yakni nilai ‘Ade’, ‘Bicara’ ‘Wari’, ‘Rapang’, ‘Wari’ dan ‘Sara’. Dengan itu, ‘Ade’ menjadi ‘nadi’ dan ‘jurus’ yang utama dalam ‘Sipakatau’ yang merangkumi sifat domain yakni Ade Tonggeng (perkataan yang benar), Lempu (kejujuran), Getteng (keteguhan, hormat menghormati) dan yang terakhir adalah Mappesona (berserah diri kepada Allah).
Syahdanya, kupasan ini dilanjutkan dengan Sipakatau dalam pola adat. Dalam filsafat orang Bugis, pola ‘adat’ merupakan kunci yang utama dalam masyarakat Bugis, di mana ia menyajikan gagasan-gagasan daripada makrokosmos dan mikrokosmos. Justeru, ‘Sipakatau’ ini amat mementingkan keteguhan (getting) dan menjadi ‘bumbu-bumbu’ dalam kanca filsafat kehidupan orang Bugis, yakni keteguhan dan tangguh dalam pendirian.
Begitulah di mata saya yang merasakan ‘empiris’ sehari-hari yang bergelimang dengan rona kultural. Begitulah kanca filsafat Bugis kadang kental, kadang cair. Hal yang demikian, ini menyebabkan budaya Bugis membasahi tenggorokan siapa sahaja yang kehausan.
Secara ringkas, esensi utama dalam memaknai ‘Sipakatau’ bermuara pada pijakan;
- Ontologi (Kepercayaan dan Keyakinan)
Manusia Bugis kini telah menerima adat secara total dalam kehidupan sistem sosial budayanya, yang telah melahirkan keyakinan dan kepercayaan yang teguh, bahawa dengan berpedoman pada adatlah ketenteramaan dan kebahagiaan akan hadir bagi setiap anggota masyarakat.
- Epistemologi (Fungsional dalam Suatu Budaya)
Fungsi dalam suatu budaya bukan sahaja mengatur ‘empiris’ dalam rasionalisme dan empirisme yang terdapat dalam tingkah laku manusia, tetapi ia akan lebih mendalam bahkan, menjadi ‘eksistensi’ manusia yakni manusia cenderung sebagai makhluk spiritual yang memerlukan penekanan dalam dimensi ‘rohani’ dan melihat manusia sebagai suatu ‘materi’.
- Aksiologi (Sistem Sosial dan Nilai-nilai Kepercayaan)
Ketetapan adat telah membentuk pola tingkah laku dan pandangan hidup manusia Bugis. Mereka percaya dan sedar bahawa sistem atau simbolik, yang telah mengatur interaksi sosialnya, mengatur tanggungjawab dan membimbing manusia untuk tidak goyah terhadap kekuasaan Tuhan.
Al hasil, ‘Sipakatau adalah konsep yang bersifat ‘holistik’ dalam kanca filsafat orang Bugis yakni ide-ide, tipe-tipe, norma-norma dan hukum-hakam yang mengandungi ‘inti-inti’ nilai normatif. Dalam masa yang sama, ianya juga akan membentuk tingkah laku manusia dan menjadi prasarana kehidupan peralatan material dan bukan material. Bagi masyarakat Bugis, sebelum anak itu dilahirkan ia juga dianggap sebagai ‘eksistensi’ yang terus memelihara ‘assipakataeng.
Pada akhirnya, ia juga akan membentuk satu mikro dalam sosiologi historis budaya ‘Sipakatau’ tersebut, di mana prinsip utama orang Bugis itu yakni ‘pangadereng’ (ade’) yang berbicara tentang kekuasaan peradilan yang berkait dengan ‘mabicara rappang’ yang merupakan tradisi kehidupan orang Bugis. Oleh itu, konsep ‘Sipakatau’ ini merangkumi ‘ade’, ‘bicara’, ‘rapang’, ‘wari’ dan ‘sara’.
Disediakan oleh,
Mohamad Azizie Nordin (Jiji Vsop)
Rujukan:
HUZAIN, Muhammad, Sipakatau: Konsepsi Etika Masyarakat Bugis oleh Muhammad Huzain, Hadarah Rajab dan Ismail Suardi Wekke, Ed.1, Cet.1 Yogjakarta: Deepublish, September 2016.