“Tatanan masyarakat dalam nilai-nilai kebudayaan di benak orang Bugis”
Karya magnum opus yang berjudul “Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis”, merupakan naskhah agung “principum”, A.Rahman Rahim yang ‘gaungnya cukup membahana’, mencoretkan tatanan masyarakat Bugis dalam ranah sejarah, budaya dan sastera, geografi yang begitu ‘kenes’ dan ‘sublim’. Dalam naskhah tipis ini, kita juga akan diajak secara perlahan, mengembara ke topik-topik sentral, dan menjejalahi semesta dalam rona-rona kebudayaan, sembari sesekali memercik renungan tentang nilai-nilai benak orang Bugis, dalam panggung kebudayaan. Jika dikunyah cercah-cercah gagasan sosok ini, ianya begitu ‘apik’, ‘auratik’ dan seperti rojak segar dan pedas, tapi mencurahkan ‘gizi’.
Jika ditilik selintas, di dalam naskhah ‘mongel’ ini juga, mendengungkan percikan-percikan kenisbian spektrum nilai-nilai kebudayaan Bugis, yang telah melekat ke dalam ‘getaran sukma’ dan masuk ke ‘ladang hati manusia’, sekaligus dipandang dengan romantis, arkaik dan penuh pesona. Masakan tidak, di ‘mata jasmani’ saya, budaya ini bergelimang dengan ‘rona-rona’ kultural berbumbu anekdot-anekdot segar, dilontarkan ke dalam panggung budaya yang mengalir ke dalam sel darah dan menghimpun daya karisma yang menggoncang sukma.
Pada penulisan kali ini, sosok A. Rahman Rahim akan membuka cakerawala terbentang luas, buat pembaca mengenal nilai-nilai kebudayaan Bugis yang sentral dan otentik di ranah budaya. Naskhah bacaan yang dituangkan oleh sosok ini, cukup ‘ringan’ dan ‘runtut, mudah dicermati dan diamati tanpa menghilangkan unsur urgesinya yang dikemas dalam bahasa yang lugas. Begitulah, nilai-nilai kebudayaan yang berurat-berakar, telah masuk ke tulang sum-sum orang Bugis, yang penuh aroma-aroma mantis, mistis, filosofis dan estetik. Justeru, dengan hadirnya naskah agung ini, yang begitu memukau dan menggoncang, pembaca akan faham terhadap pedas, masin, pahit, dan manisnya panggung kebudayaan orang Bugis.
Namun, bila ditelusuri secara analisis dan kritis, ‘anjang-anjang’ dan ‘ancar-ancar’ nilai kebudayaan di benak orang Bugis, ini menjadi ‘tulang punggung’ dan ‘jurus’, disebabkan ia telah menjadi ‘patokan’ dan menjadi sekunder, yang bermuara dan mengacu dalam lensa sejarah di seantero jagat. Setelah menganalisis secara ‘eidetik’ pengamatan yang sedemikian, dapatlah dikatakan bahawa, nilai-nilai ini juga menjadi ‘bumbu-bumbu’ dan ‘inti-inti’ dalam adat-istiadat dan dalam panggadarreng.
Secara ringkas, esensi utama dalam memaknai ‘Nilai-nilai kebudayaan Bugis’ bermuara pada pijakan;
Kejujuran (Alempureng)
Jika diamati dengan saksama, pada dasarnya jujur dalam bahasa Bugis, yakni ‘lempu’ sama dengan lurus sebagai lawan dari bengkok. Dengan itu, kata ‘lempu’ ini akan dapat difahami ketika ‘melalap’ ungkapan Bugis atau dalam naskah Lontara (manuskrip Bugis). Lhadalah, di dalam Lontara, menerangkan mengenai kejujuran ini secara lebih terperinci. Sebagai contoh, pendapat yang dikemukakan oleh La Manussa Toakkarangena, menyatakan ada empat tipologi perbuatan kejujuran ini, yakni (a) memaafkan orang yang berbuat salah terhadap dirinya (b) dipercayakan tidak berlaku curang (c) tidak mengambil hak orang lain dan (d) tidak memandang kebaikan kalau hanya buat dirinya.
Kepintaran (Amaccang)
Nilai kepintaran ini telah dirayakan dengan nilai kejujuran. Misalnya, “jangan sampai engkau ketiadaan kepintaran dan kejujuran. Tampaknya apa yang dipaparkan di atas, dapatlah dikatakan bahawa kepintaran dan kejujuran ini saling dimotori dan dipandu. Jika dipersudutkan dari adat di benak orang Bugis, ia juga telah ditanamkan dan ditumbuhkan kepada anak-anak, sekaligus ‘diudarakan’ “elong pa dondodondo” (nyanyian harapan).
Daripada nyanyian ini, dapatlah dikatakan bahawa sebelum adat ditanam, pagarnya harus lebih dulu disiapkan. Masakan tidak, ungkapan ini mengumandangkan, ada dua yang dijadikan pagar, yakni bunga, hiasan kuku dan nangka. Justeru, setiap simbol-simbol ini akan menyajikan satu makna tersirat dalam tatanan simbolis. Nangka diibaratkan sebuah kejujuran manakala hiasan kuku (pacci) adalah bersih atau suci.
Kepatuhan (Astinajang)
Bagi nilai kepatuhan, ia juga akan dirayakan dengan nilai kemampuan (memahami) jasmaniah dan rohaniah. Penyerahan atau suatu penerimaan ini menjadi ‘nadi’, di mana ia didasarkan dengan kemampuan. Orang yang perlu memberi haruslah memberi, manakala orang menerima juga perlulah menerima apa yang diberikan.
Sehubungan dengan itu, bagi penerima ini, ia juga akan merasa gembira dan senang dengan pemberian yang diberikan. Misalnya, seseorang itu akan mengatakan “marennuka” atau “temmaka rennuku”.
Keteguhan (Agettengeng)
Keteguhan di sini jika diamati dengan sederhana, ia adalah berbumbu keyakinan, kuat, dan berpendirian teguh. Atas dasar itu, Tociung menisbahkan keabsahan rezim ini mempunyai empat tipe, yakni (a) tidak mengingkari janji, (b) tidak mengkhianati kesepakatan (c) tidak membatalkan keputusan dan (d) jika berbicara tidak selesai.
Usaha (Reso)
Nilai usaha ini juga adalah sebuah tatanan ‘akar-akar’ dan ‘ranting-ranting’ inti yang membumbui kunci bagi kejujuran, kepintaran, kepatutan, dan keteguhan. Hal ini juga menyebabkan, nilai usaha ini merangkumi seluruh nilai yang tepat dan didukung oleh nilai usaha. Oleh itu, nilai usaha ini juga akan memuncak dan membengkak dengan sendirinya, yang membuka ‘jambatan-jambatan’ dan ‘landasan-landasan’ yang dimotori oleh nilai yang lain.
Siri (Harga Diri)
Siri ialah harga diri, ain, perasaan, dan berlaku keadilan yang bersih. Di dalam Lontara, ia juga melirik bahawa ‘Siri’ harus ditegakkan bersama, barulah ianya sempurna dalam kehidupan suami isteri, ketika saling memberi pertimbangan. Dari kutipan tersebut, dapat ditarik pemahaman bahawa ‘Siri’ harus dipelihara dan dihormati untuk mengelakkan perbuatan yang memalukan (mappakasiri), perasaan malu (masiri) dan dipermalukan (ripakasiri).
Mauduk seterusnya, pada bab kelima (5), kupasan yang tajam dan terang ini mengenai konsep perubahan dalam suatu masyarakat. Perubahan ini berlaku disebabkan berlaku norma-norma baharu, pola-pola baru, dan hubungan yang baru.
Justeru, Wertheim melirik “kita hendaklah mempelajari bagaimana masyarakat yang baru memandang sebagai satu keseluruhan dan perbezaan yang sesuai dengan sistem nilai yang banyak dianut dibahagian situ”.
Akhir kata, naskhah ini amat sesuai dan senang dicermati, melalui jargon-jargon yang digunakan di samping dapat menambahkan pengetahuan mengenai Bugis.
Disediakan oleh,
Mohamad Azizie bin Nordin
Hantar karya anda di emel [email protected].
Karya yang terpilih akan disiarkan di laman web Jejak Tarbiah dan mendapat baucar buku RM30!