Saya suka mengikuti polemik buku Bumi Manusia yang rancak dibahaskan di media sosial baru ini, setidak-tidaknya ia akan memasarkan karya besar nusantara ini kepada orang kita. Tidak ramai orang kita yang kenal dengan Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) atau Pak Pram kecuali yang betul-betul berada di lapangan sastera, atau bukuwan tegar, atau kolektor dan seumpama.
Namun, untuk polemik yang muncul baru ini; samaada ia wajar diterbitkan dalam semula dalam versi Bahasa Melayu atau sebaliknya, atau perihal kualitinya, itu saya serahkanlah kepada yang ahlinya. Saya cuma mahu mengajak kita bersama-sama menghargai dan mengambil manfaat daripada buku ini. Saya cuma mahu; buku ini dibaca. Jika mampu, usaha cari semua siri dan noktahkan di Rumah Kaca (siri terakhir dalam tetralogi Buru).
Di sini, saya sudah menghimpunkan petikan-petikan menarik yang sempat saya tandai selepas menghabiskan bacaan buku ini beberapa tahun yang lepas, juga sekian nombor halamannya (merujuk Bumi Manusia terbitan Lentera Dipantara, 2005);
- “Aku lebih mempercayai ilmu-pengetahuan, akal. Setidak-tidaknya padanya ada kepastian-kepastian yang bisa dipegang.” (16)
- “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.” (59)
- “.. Jiwa semuda itu jangan dilukai dengan penderitaan tak perlu, sekalipun cacat ayahnya sendiri. Dia hendaknya tetap mencintai aku dan memandang aku sebagai ayahnya yang mencintainya, tanpa melalui suara dan pandang orang lain.” (82)
- “.. kasihan hanya perasaan orang berkemauan baik yang tidak mampu berbuat. Kasihan hanya satu kemewahan, atau satu kelemahan. Yang terpuji memang dia yang mampu melakukan kemauan baiknya…” (83)
- “.. Aku lebih mencintai dan mempercayai mama, dan mama pribumi, mas…” (97)
- “.. Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima…” (105)
- “Aku benarkan peringatan Jean Marais; harus adil sudah sejak dalam pikiran, jangan ikut-ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya.” (105)
- “.. jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur peradabanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.” (165)
- “.. Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.” (186)
- “Kau sudah besar. Tentu kau berani memikul akibat dan tanggungjawabnya, tidak lari seperti kriminil.” (189)
- “.. semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. Kan itu tidak terlalu sulit difahami? Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan caraNya sendiri.” (189)
- “.. Tempuhlah jalan yang kau anggap terbaik. Hanya jangan sakiti orang tuamu, dan orang yang kau anggap tak tahu segala sesuatu yang kau tahu.” (194)
- “Hanya menurut guruku yang jagoan itu adalah nama untuk semangat, sikap, pandangan, yang mengutamakan syarat keilmuan, estetika dan effisiensi…” (213)
- “.. melawan pada yang berilmu dan pengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan.” (286)
- “.. anggap semua pelajaran mudah, dan semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apapun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang membodohkan semua.” (310)
- “Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa.” (313)
- “.. Barangkali sudah sejak Hawa kecantikan mengampuni kekurangan dan cacat seseorang. Kecantikan mengangkat wanita di atas sesamanya, lebih tinggi, lebih mulia. Tetapi kecantikan, bahkan hidup sendiri menjadi sia-sia bila dikuasai ketakutan.” (374)
- “.. dalam kehidupan ilmu tak ada kata malu. Orang tidak malu karena salah atau keliru. Kekeliruan dan kesalahan justru akan memperkuat kebenaran…” (375)
- “… jangan lari dari persoalanmu sendiri, karena itu adalah hakmu sebagai jantan. Rebut bunga kecantikan karena mereka disediakan untuk dia yang jantan. Juga jangan jadi kriminil dalam percintaan, yang menaklukkan wanita dengan gemerincing ringgit, kilau harta dan pangkat.” (440)
- “Kertas lebih menentukan, lebih kuasa.” (515)
- “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” (535)
Cukuplah itu dahulu. Semestinya ada banyak lagi. Kalian sendirilah yang patut cuba menyelami karya besar ini. Di hari yang lain saya akan cuba mengumpulkan petikan-petikan terbaik daripada siri berikutnya pula; Anak Semua Bangsa. Selamat!
Bersambung –
Disediakan Oleh: Ilham Yusuf
(Seorang pendidik, penulis dan pembaca karya-karya Pram)
